Sunday, March 28, 2010

jaring

Bapak: nanti dulu, saya mau bicara tapi kalem ya, tidak ada barang yang terburu-buru, tidak ada. itu tadi apa, merdeka-merdekaan itu, grudak-gruduk..bisa merdeka begitu saja? apa bisa diklutuk seperti menggladak babi hutan?
Hadi: Bapak itu kuno, belum mengerti keadaan ini. Bapak lebih senang kepada Belanda karena Bapak bekas pegawai Belanda, ya kan?
Bapak: tidak salah, tapi juga tidak benar, coba sekarang jangan pakai perasaan saja, tapi pake ini (otak) juga. mungkin Bapakmu sudah kuno. Bapakmu, Ibumu selalu bermimpi-mimpi, kapan bisa beli nasi pecel satu sen dua bungkus. seteng, setengah sen.. dulu masih laku. Berarti kembali ke zaman normal.
Hadi:Pak memang zaman normal itu zaman Belanda, tetapi begini Pak, di seluruh dunia sekarang ini tidak ada lagi zaman normal, dunia sekarang sedang dijungkirbalikkan oleh gejala perubahan termasuk gejolak kemerdekaan kita ini Pak. Ini lebih dari Revolusi Perancis... degeboorte van en france en revolutie en a nationale staat.
Bapak: Sebuah negara, kita membutuhkan banyak sekali experts, insinyur, ekonom.. bukan tawuuran cung.
Hadi:: Bapak tidak salah seratus persen, tapi yang salah adalah de prioriteit stellingen nya. Expert menjadi prioriteit..sedangkan yang penting adalah merdeka dulu Pak. As prioriteit, kemudian ahli-ahli itu dibangun sekaligus membangun bangsa. Kesempatan ini adalah kesempatan sejarah, harus dipakai, jangan dilewatkan. Sejarah tidak akan memberi kesempatan untuk kali yang ke dua.. vrijg de historie, dan arahkan ke kemerdekaan!!
-Soerabaia 45-



partai pembebasan, partai kedua terbesar dari belanda di parlemen Eropa. melalui geert wilders sebagai pemimpin partai, membawa agenda anti-imigran dan anti islam. meski terdengar penuh kebencian tapi ia semakin populer. asumsi rasionalitas dalam demokrasi mungkin masih perdebatan, tapi memakai hal tersebut kita bisa bertanya bagaimana mungkin penduduk negara maju dengan label rata-rata 'berpendidikan' kini mulai bergeser ke kanan. atau mungkin menarik jauh ke pengertian dasar, dimana perdebatan sebenarnya adalah apakah rasionalitas itu selalu objektif. artinya bukan tentang tidak masuk akalnya kebencian terhadap imigran dan islam tapi tentang keselamatan.

populasi imigran dan kebetulan beragama islam memang terus tumbuh di banyak negara maju Eropa. satu hal tentang imigran, sebagai tenaga kerja harga mereka murah. dalam kelas pekerja berpendidikan rendah mereka mengancam status stabilitas penduduk asli. dalam satu kesimpulan imigran lebih efisien terhadap penduduk asli. sementara globalisasi sudah bergulir dan negara maju sebagai patron dalam hal ini. indikatornya adalah bebasnya perpindahan tenaga kerja. bagi penduduk asli dalam status kelas pekerja berpendidikan rendah, geert wilders membawa harapan. mungkin seperti partai-partai yang menjual nasionalisme di Indonesia, kelas rakyat kecil menjadi bekal politik.

dengan ACFTA, China bersama negara-negara Asean kini bisa memotong biaya perdagangan seminimum mungkin, artinya aliran barang antar negara akan lebih deras. Satu hal tentang produk China adalah mereka berharga murah dan mengancam produk lokal. dalam satu kesimpulan produsen China lebih efisien. suara-suara anti perdagangan bebas memang selalu ada, dan sedikit lebih nyaring saat ini. dan kadang selalu satu irama dalam anti kapitalisme, neoliberalisme.

globalisasi memang tidak akan berhenti cepat jika pun masih ada yang tidak menyukainya. sebaliknya, sepertinya ia masih akan terus tumbuh. dan bermacam-macam implikasi nilai yang dibawa di belakang...keterbukaan ataupun fanatisme, kebebasan ataupun fundamentalisme misalnya memang kadang mengancam sesuatu yang sudah ajeg sebelumnya. dan bagi alamiah manusia yang ingin resiko serendah mungkin kadang memang ancaman selalu dinilai lebih ketimbang kesempatan yang hadir.

dan saya hanya terngiang-ngiang kuliah seorang guru, globalisasi akan terus menggedor dan mengetuk pintu anda (yang tertutup) hingga terbuka dan jika kamu tidak efisien globalisasi akan memberi tahumu.

8 comments:

macangadungan said...

wahahah, berat nih bahasanya...
masalahnya gini, globalisasi memang membuka banyak kesempatan. tapi dalam hal perdagangan bebas dengan China, pemerintah Indonesia gue rasa kurang siap. Karena dukungan terhadap pedagang menengah ke bawah gue lihat kurang.
Sementara, bangsa ini termasuk bangsa yang konsumtif. Jika tiba-tiba ada produk impor dengan harga lebih murah dan mutu tidak kalah jauh, bukankah produk dalam negeri akan semakin terbelakang?
Walau memang di lain pihak, perdagangan bebas ini otomatis akan membuat pengrajin dan pengusaha Indonesia berimprovisasi agar tidak kalah dengan produk asing.Tapi untuk maju itu, pasti akan ada kemunduran dulu, baru bisa melangkah lagi.

Anonymous said...

jelas sekali kita adalah pasar yang sangat besar dan teropong negara produsen selalu terarah ke sini.
mudah-mudahan produk dan teknologi kita akan lebih hebat lagi.
iri sekali melihat negara yang bisa membuat produk murah, efisien dan efektif untuk pasar di negaranya sendiri..

jangan sampai globalisasi menjadi arena gombalisasi negara-negara produsen besar bagi kita hehehe..

Anonymous said...

ya ampun bang
bahasanya tingkat tinggi deh

jujur gue ga ngerti
hahaha

makasih ye uadah mampir di blog aku
salam knal!

sepoi said...

@macan: hehe... soal ketidaksiapan, masalahnya sampai kapan tidak siapnya.. kl soal ada barang lebih murah lebih dipilih itu mah hukum universal kok, semua manusia juga gitu, bukan indonesia aja..nah kesempatan memang harus diambil, sejarah tidak datang dua kali, merdeka!! :D

@perahukayu: selalu ada peluang kok, tinggal bagaimana memaksimalkan potensi Indonesia aja (meski lanjutannya ngga sesederhana tinggal memaksimalkan)

@hellga: terimakasih juga sudah mampir

Anonymous said...

Teringat ajaran oleh seorang pemikir, kita seharusnya menarikan tarian kita sendiri bukan orang lain. Globalisasi memang akan tetap ada. Tapi kita punya pilihan untuk menghadapinya. Jika Indonesia memang tidak siap dengan arus deras globalisasi, rasanya pemikiran tentang ekonomi kerakyatan dan dukungan kepada produk lokal bisa disimak kembali mengingat kondisi sumberdaya (manusia dan alam) serta budaya kita memang berbeda dengan saudara kita di negara-negara maju (mungkin mas sepoisepi justru lebih ahli dalam hal ini :) ) -sulis-

Langit said...

Mungkin salah satu peran pemerintah (Indonesia) dalam menghadapi era Perdagangan bebas ini salah satunya adalah membuat regulasi/kebijakan yang mempermudah dan atau melindungi para pelaku usaha, terutama pengusaha kecil dan menengah, sehingga tercipta stabilitas ekonomi yang lumayan "baik" meski mungkin banyak sekali variabel yang berpengaruh terhadap stabilitas/sirkulasi ekonomi (mikro dan makro).

Intinya mah tetap berpositip thinking saja bahwa keadaan akan baik.

*tidak tahu masalah ekonomi, ini komentar sok tau saja ^.^ *

Emma said...

tampilan blognya terlalu lebar, warna font-nya bikin pegal mata.

(sumbang saran nih, no offense ya, heheh, thanks sudah berkunjung di roemahjiwa)

sepoi said...

@emma: hehe.. iya terimakasih untuk sarannya.. tapi saya lebih nyaman seperti ini :)