Institutions are the humanly devised constraints that structure human interaction. They are made up of formal constraints (rules, laws, constitutions), informal constraints (norms of behavior, conventions, and self imposed codes of conduct), and their enforcement characteristics. Together they define the incentive structure of societies and specifically economies. (Nobel Prize Lecture, Douglass C. North)
dalam satu generalisasi, kita bisa bertanya mengapa sistem maupun perilaku manusia di negara maju relatif lebih beradab ketimbang negara-negara berkembang ataupun miskin. mulai dari sistem peradilan hingga budaya antri misalnya.
satu pendapat dari acemoglu adalah perbedaan dari siapa penjajah mereka dan bagaimana mereka menjajah. tapi pertanyaannya lagi adalah, mengapa para penjajah bisa berbeda memperlakukan wilayah jajahannya. jawaban acemoglu adalah malaria. wilayah dengan tingkat malaria tinggi membuat penjajah tidak nyaman membangun peradaban di sana, mereka lebih memilih eksploitasi sumber daya alam dan kemudian pergi. itulah yang membedakan jajahan inggris di asia dengan jajahan belgia di afrika. ataupun koloni penuh di amerika utara dan australia, dan tidak di malaysia ataupun india.
hipothesis ini mungkin terasa mental superioritas kulit putih. namun dominasi mereka ratusan tahun ke belakang hingga saat ini tentu saja adalah suatu realitas. dan itulah yang menjadi warna peradaban dunia saat ini.
dan di papua, sayapun kembali teringat hal ini. ketika permintaan referendum kembali memanas. mengapa papua jauh tertinggal ketimbang wilayah bekas jajahan belanda lainnya di nusantara. ketika belanda membangun kota dan sistem pemerintahan yang mapan terutama di jawa dan sumatera sementara di papua, belanda hanyalah menjadi rampok di malam hari. tentu saja alasannya adalah malaria.
dan di papua, sayapun melihat kesenjangan institusi yang begitu besar. meski saya tidak suka dengan konsep asli dan bukan asli, tapi pedagang berdarah papua di pasar hanyalah berdagang hasil yang dipetik dari alam tanpa memiliki bangunan permanen untuk berdagang, sementara para pendatang memiliki kemampuan mengolah dan meramu dengan deretan toko-toko besar.
dan di papua, sayapun melihat orde baru melestarikan gaya belanda. mengalirkan hasil sumber daya alam ke jakarta sementara penduduk sekitar menjadi penonton saja. entah ataukah merasa kesulitan membangun untuk melompat jauh dari bangsa berburu menjadi bangsa industri. sementara di jawa, memulai dari bangsa bercocok tanam saja masih kesulitan dengan pembangunannya sendiri.
seorang petugas pengawas bandara keturunan jawa yang menyewakan mobilnya menjadi taksi saat jam kerja, bercerita jika di jawa, dulu belanda masih mau mengajarkan banyak hal, sementara di papua, belanda setiap pagi memberikan susu dan roti kepada penduduk setelah mengambil hasil alam mereka.
dan di papua tuntutan merdeka masih sering terdengar. sayapun teringat mental belanda ketika indonesia merdeka.. ketika merasa bagaimana mungkin bangsa yang mayoritas buta huruf, tidak beradab, bisa mengatur diri mereka sendiri... entahlah, dan kabarnya, di jakarta para pejabat asli papua itu sering menghabiskan waktu ketimbang di kantornya nun jauh di sana.
jayapura, merauke, agustus 2011
Showing posts with label esai3. Show all posts
Showing posts with label esai3. Show all posts
Wednesday, September 14, 2011
Tuesday, December 14, 2010
awam
I'll keep drinkin' this Wine
'Cause my heart just can't say when
'Til I'm like a vagabond
And I've got nothing left to defend
With eyes full of tears
And a heart full of fire
This Wine that I have found is so rare
It brings joy without end
-Dust on the road, Debu-
"Apakah gunanya agama?" Ayah saya berkomentar saat melihat kali di belakang pekarangan rumah almarhum kakek semakin mengecil karena penduduk membangun rumah di sepanjang pinggiran kali. "Apa mereka tidak sadar jika bencana banjir hanya menunggu waktu saja?" Beliau melanjutkan, untuk apa ibadah yang mereka praktikkan selama ini jika tidak membangun kesadaran untuk menjaga alam dan lingkungan. dan lamat-lamat argumen ayah saya seperti menyalahkan pemisahan antara agama dan dunia. seperti anti sekuler, meski yang saya alami kehidupan beliau sangat sekuler.
dan saya pun teringat dengan nyamannya kehidupan di Belanda, sebuah negara yang sangat tidak perduli dengan status agama. kehidupan yang tertib, bersih, tidak ada pembangunan yang sembarangan di lahan hijau, jadwal transportasi yang akurat hingga kita bisa menebak perkiraan perjalanan dalam akurasi menit.
dan saya pun teringat ide-ide besar teologi ketika kuliah di bandung, tentang pergulatan para cendekiawan islam yang banyak bersuara setelah menempuh pendidikan di luar negeri. mulai dari ide negara agama hingga liberalisasi agama, memang ada variasi dari kedua ekstrim, namun keduanya lahir dari ibu yang sama, modernitas dan rasionalisme.
satu kubu menyatakan peradaban islam runtuh karena ajarannya ditinggalkan sementara peradaban barat maju karena meninggalkan ajaran agamanya. namun sekian lama yang saya sadari, persoalan memang tidak sesederhana itu.... protestan bisa mengklaim kemajuan barat dengan protestan ethicnya... dan tentu saja, Indonesia bukan semata-mata milik agama Islam.
di kubu lain menilai jika peradaban barat sekarang adalah peradaban islam yang sesungguhnya.. jadi menolehlah ke barat. namun sekian lama yang saya sadari, persoalan memang tidak sesederhana itu... pendiktean iklim kebebasan oleh negara barat memang berhasil di sebagian negara asia, tapi tidak di afrika. dan belum ada yang bisa menjawab itu secara final. generalisasi memang kadang alpa dengan detail.
entahlah, yang pasti perdebatan dan penyusunan logika akan sangat panjang, dan bisa jadi sudah klise dan membosankan. sepertinya pertanyaan Ayah saya memang hanya ditunjukkan untuk pribadi saya sendiri saja. untuk apa agama? saya sendiri bukan seorang gagah yang berkegiatan sosial untuk kemajuan komunitas, saya hanya seorang individualis yang masih kebingungan apakah gaji sudah layak membayar zakat dan kadang terasa berat membayar qurban, saya pun masih selalu gelisah jika berada di pengajian dimana argumen-argumen sang ustadz kadang tidak logis dan sulit saya terima. dan memang saya pun masih tidak bisa menjawab apa gunanya agama untuk saya...
Jakarta 9 Muharam 1432
Sunday, March 28, 2010
jaring
Bapak: nanti dulu, saya mau bicara tapi kalem ya, tidak ada barang yang terburu-buru, tidak ada. itu tadi apa, merdeka-merdekaan itu, grudak-gruduk..bisa merdeka begitu saja? apa bisa diklutuk seperti menggladak babi hutan?
Hadi: Bapak itu kuno, belum mengerti keadaan ini. Bapak lebih senang kepada Belanda karena Bapak bekas pegawai Belanda, ya kan?
Bapak: tidak salah, tapi juga tidak benar, coba sekarang jangan pakai perasaan saja, tapi pake ini (otak) juga. mungkin Bapakmu sudah kuno. Bapakmu, Ibumu selalu bermimpi-mimpi, kapan bisa beli nasi pecel satu sen dua bungkus. seteng, setengah sen.. dulu masih laku. Berarti kembali ke zaman normal.
Hadi:Pak memang zaman normal itu zaman Belanda, tetapi begini Pak, di seluruh dunia sekarang ini tidak ada lagi zaman normal, dunia sekarang sedang dijungkirbalikkan oleh gejala perubahan termasuk gejolak kemerdekaan kita ini Pak. Ini lebih dari Revolusi Perancis... degeboorte van en france en revolutie en a nationale staat.
Bapak: Sebuah negara, kita membutuhkan banyak sekali experts, insinyur, ekonom.. bukan tawuuran cung.
Hadi:: Bapak tidak salah seratus persen, tapi yang salah adalah de prioriteit stellingen nya. Expert menjadi prioriteit..sedangkan yang penting adalah merdeka dulu Pak. As prioriteit, kemudian ahli-ahli itu dibangun sekaligus membangun bangsa. Kesempatan ini adalah kesempatan sejarah, harus dipakai, jangan dilewatkan. Sejarah tidak akan memberi kesempatan untuk kali yang ke dua.. vrijg de historie, dan arahkan ke kemerdekaan!!
-Soerabaia 45-
partai pembebasan, partai kedua terbesar dari belanda di parlemen Eropa. melalui geert wilders sebagai pemimpin partai, membawa agenda anti-imigran dan anti islam. meski terdengar penuh kebencian tapi ia semakin populer. asumsi rasionalitas dalam demokrasi mungkin masih perdebatan, tapi memakai hal tersebut kita bisa bertanya bagaimana mungkin penduduk negara maju dengan label rata-rata 'berpendidikan' kini mulai bergeser ke kanan. atau mungkin menarik jauh ke pengertian dasar, dimana perdebatan sebenarnya adalah apakah rasionalitas itu selalu objektif. artinya bukan tentang tidak masuk akalnya kebencian terhadap imigran dan islam tapi tentang keselamatan.
populasi imigran dan kebetulan beragama islam memang terus tumbuh di banyak negara maju Eropa. satu hal tentang imigran, sebagai tenaga kerja harga mereka murah. dalam kelas pekerja berpendidikan rendah mereka mengancam status stabilitas penduduk asli. dalam satu kesimpulan imigran lebih efisien terhadap penduduk asli. sementara globalisasi sudah bergulir dan negara maju sebagai patron dalam hal ini. indikatornya adalah bebasnya perpindahan tenaga kerja. bagi penduduk asli dalam status kelas pekerja berpendidikan rendah, geert wilders membawa harapan. mungkin seperti partai-partai yang menjual nasionalisme di Indonesia, kelas rakyat kecil menjadi bekal politik.
dengan ACFTA, China bersama negara-negara Asean kini bisa memotong biaya perdagangan seminimum mungkin, artinya aliran barang antar negara akan lebih deras. Satu hal tentang produk China adalah mereka berharga murah dan mengancam produk lokal. dalam satu kesimpulan produsen China lebih efisien. suara-suara anti perdagangan bebas memang selalu ada, dan sedikit lebih nyaring saat ini. dan kadang selalu satu irama dalam anti kapitalisme, neoliberalisme.
globalisasi memang tidak akan berhenti cepat jika pun masih ada yang tidak menyukainya. sebaliknya, sepertinya ia masih akan terus tumbuh. dan bermacam-macam implikasi nilai yang dibawa di belakang...keterbukaan ataupun fanatisme, kebebasan ataupun fundamentalisme misalnya memang kadang mengancam sesuatu yang sudah ajeg sebelumnya. dan bagi alamiah manusia yang ingin resiko serendah mungkin kadang memang ancaman selalu dinilai lebih ketimbang kesempatan yang hadir.
dan saya hanya terngiang-ngiang kuliah seorang guru, globalisasi akan terus menggedor dan mengetuk pintu anda (yang tertutup) hingga terbuka dan jika kamu tidak efisien globalisasi akan memberi tahumu.
Hadi: Bapak itu kuno, belum mengerti keadaan ini. Bapak lebih senang kepada Belanda karena Bapak bekas pegawai Belanda, ya kan?
Bapak: tidak salah, tapi juga tidak benar, coba sekarang jangan pakai perasaan saja, tapi pake ini (otak) juga. mungkin Bapakmu sudah kuno. Bapakmu, Ibumu selalu bermimpi-mimpi, kapan bisa beli nasi pecel satu sen dua bungkus. seteng, setengah sen.. dulu masih laku. Berarti kembali ke zaman normal.
Hadi:Pak memang zaman normal itu zaman Belanda, tetapi begini Pak, di seluruh dunia sekarang ini tidak ada lagi zaman normal, dunia sekarang sedang dijungkirbalikkan oleh gejala perubahan termasuk gejolak kemerdekaan kita ini Pak. Ini lebih dari Revolusi Perancis... degeboorte van en france en revolutie en a nationale staat.
Bapak: Sebuah negara, kita membutuhkan banyak sekali experts, insinyur, ekonom.. bukan tawuuran cung.
Hadi:: Bapak tidak salah seratus persen, tapi yang salah adalah de prioriteit stellingen nya. Expert menjadi prioriteit..sedangkan yang penting adalah merdeka dulu Pak. As prioriteit, kemudian ahli-ahli itu dibangun sekaligus membangun bangsa. Kesempatan ini adalah kesempatan sejarah, harus dipakai, jangan dilewatkan. Sejarah tidak akan memberi kesempatan untuk kali yang ke dua.. vrijg de historie, dan arahkan ke kemerdekaan!!
-Soerabaia 45-
partai pembebasan, partai kedua terbesar dari belanda di parlemen Eropa. melalui geert wilders sebagai pemimpin partai, membawa agenda anti-imigran dan anti islam. meski terdengar penuh kebencian tapi ia semakin populer. asumsi rasionalitas dalam demokrasi mungkin masih perdebatan, tapi memakai hal tersebut kita bisa bertanya bagaimana mungkin penduduk negara maju dengan label rata-rata 'berpendidikan' kini mulai bergeser ke kanan. atau mungkin menarik jauh ke pengertian dasar, dimana perdebatan sebenarnya adalah apakah rasionalitas itu selalu objektif. artinya bukan tentang tidak masuk akalnya kebencian terhadap imigran dan islam tapi tentang keselamatan.
populasi imigran dan kebetulan beragama islam memang terus tumbuh di banyak negara maju Eropa. satu hal tentang imigran, sebagai tenaga kerja harga mereka murah. dalam kelas pekerja berpendidikan rendah mereka mengancam status stabilitas penduduk asli. dalam satu kesimpulan imigran lebih efisien terhadap penduduk asli. sementara globalisasi sudah bergulir dan negara maju sebagai patron dalam hal ini. indikatornya adalah bebasnya perpindahan tenaga kerja. bagi penduduk asli dalam status kelas pekerja berpendidikan rendah, geert wilders membawa harapan. mungkin seperti partai-partai yang menjual nasionalisme di Indonesia, kelas rakyat kecil menjadi bekal politik.
dengan ACFTA, China bersama negara-negara Asean kini bisa memotong biaya perdagangan seminimum mungkin, artinya aliran barang antar negara akan lebih deras. Satu hal tentang produk China adalah mereka berharga murah dan mengancam produk lokal. dalam satu kesimpulan produsen China lebih efisien. suara-suara anti perdagangan bebas memang selalu ada, dan sedikit lebih nyaring saat ini. dan kadang selalu satu irama dalam anti kapitalisme, neoliberalisme.
globalisasi memang tidak akan berhenti cepat jika pun masih ada yang tidak menyukainya. sebaliknya, sepertinya ia masih akan terus tumbuh. dan bermacam-macam implikasi nilai yang dibawa di belakang...keterbukaan ataupun fanatisme, kebebasan ataupun fundamentalisme misalnya memang kadang mengancam sesuatu yang sudah ajeg sebelumnya. dan bagi alamiah manusia yang ingin resiko serendah mungkin kadang memang ancaman selalu dinilai lebih ketimbang kesempatan yang hadir.
dan saya hanya terngiang-ngiang kuliah seorang guru, globalisasi akan terus menggedor dan mengetuk pintu anda (yang tertutup) hingga terbuka dan jika kamu tidak efisien globalisasi akan memberi tahumu.
Subscribe to:
Posts (Atom)